Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perpajakan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Mercubuana
PPh PASAL 23 dan 26

Disusun oleh Kelompok 9 :
Jakarta
2012
Kata Pengantar
Terima kasih yang sebesar besarnya
kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat-Nya saya semua
dapat menyelesaikan makalah “PPh Pasal 23 dan 26” ini tepat pada waktunya.
Penulisan
makalah ini kami susun untuk memenuhi Mata Kuliah Perpajakan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Mercu Buana Jakarta.
Pada
proses pembuatan makalah ini kami dibantu oleh banyak pihak. Untuk itu saya
berterima kasih kepada Ibu Muti’ah untuk
ajaran dan bimbingannya. Serta kepada perpustakaan Universitas Mercu Buana yang
telah menyediakan literature dan bahan untuk menyelesaikan makalah ini.
Dan
Kepada semua pihak yang tidak dapat kami ucapkan satu persatu, kami ucap terima
kasih.
Jakarta, 15 April 2012
Kelompok 9
PEMOTONGAN
PPh PASAL 23 :
KEWAJIBAN
PEMOTONGAN CAPITAL INCOME (BUNGA, DEVIDEN, ROYALTI, DAN SEWA)
DAN
JASA PADA WAJIB PAJAK DALAM NEGRI
·
DASAR
HUKUM
1.
Pasal 23 Undang Undang Nomor 7
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomer 36
Tahun 2008
2.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23
Ayat (1) huruf c angka 2 UU No 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan atas Jasa Keuangan yang Dilakukan oleh
Badan Usaha yang Berfungsi sebagai Penyalur Pinjaman dan/atau Pembiayaan yang
Tidak Dilakukan Pemorongan PPh pasal 23.
·
KEDUDUKAN
DALAM UNDANG UNDANG PPh
1.
Merupakan kewajiban bagi Wajib
Pajak dalam negri untuk melakukan pemotongan
sebagai pemotong PPh pasal 23 sehingga jika kewajiban tersebut tidak
dipenuhi dapat dikenakan sanksi perpajakan.
2.
PPh pasal 23 tersebut merupakan
pembayaran pendahuluan atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang menerima
penghasilan tersebut.
3.
Kewajiban penyetoran dan
pelaporan PPh pasal 23 bersifat insidental dan hanya dilakukan apabila pada
bulan tersebut terdapat pemotongan PPh Pasal 23.
·
PEMOTONG
PPh PASAL 23
1.
Badan Pemerintah, subyek pajak
dalam negri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negri
lainnya. Pemotong ini sifatnya otomatis dan tidak ada penunjukkan sebagai
pemotong PPh pasal 23.
2.
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negri yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral Pajak sebagai pihak yang wajib
membayarkan penghasilan.
Surat
Keputusan Direktorat Jendral Pajak Nomor Kep. 50/PJ/1994, orang pribadi yang
dapat ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 (harus ada penunjukan terlebih
dahulu) adalah akuntan. Arsitek, dokter, notaris, pengacara, konsultan, PPAT
kecuali Camat dan orang pribadi yang menjalanakan usaha dengan menggunakan
pembukuan.
·
OBJEK
DAN TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Penghasilan
yang mejadi objek pajak PPh Pasal 23 adalah :
1.
15% dari jumlah bruto atas
deviden selain kepada Wajib pajak Orang Pribadi dalam negri.
2.
15% dari jumlah bruto atas bunga
3.
15% dari jumlah bruto atas
royalti
4.
15% dari jumlah bruto atas
hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal
21.
Catatan
penulis :
Dipotong
PPh pasal 21 apabila diterima Wajib pajak Orang Pribadi, dan dipotong PPh,
pasal 23 apabila diterima Wajib Pajak Badan.
5.
2% dari jumlah bruto atas sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain yang terutang
PPh Pasal 4 ayat 2.
Catatan
Penulis :
Sewa
tanah dan bangunan terutang PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 5%.
6.
2% dari jumlah bruto atas
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.
Jumlah
PPh Pasal 23 tersebut menjadi dua kali lebih besar (100% lebih tinggi) apabila
pihak yang dipotong tidal memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Catatan
penulis :
a.
PPh pasal 23 mulanya hanya
terbatas pada capital income berupa
bunga, deviden dan royalti kerena tidak ada resiko usaha sehingga dikenakan
tarif 15% dari jumlah bruto.
b.
Objek pasal 23 berkembang dengan
mengenakan juga terhadap :
1)
Hadiah, pengahargaan, bonus dan
sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21
2)
Sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta selain yang terutang PPh pasal 4 ayat 2
3)
Jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan , dan jasa lain.
c.
Hadiah, penghargaan dan bonus
tidak ada risiko kerugian sehinggadikenakan tarif 15% dari jumlah bruto.
d.
Sewa dan jasa termasuk kategori active income dan terdapat risiko usaha
sehingga dikenakan tarif 2% dari jumlah bruto yang sudah diperhitungkan tingkat
keuntungan.
·
JASA
TEKNIK
Menurut
Edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-08/PJ.222/1984 tanggal 5 Maret 1984,
jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi berkenaan
dengan pegalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang
dapat meliputi untuk proyek tertentu, untuk membuat suatu jenis produk tertentu
dan berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman pengalaman di
bidang manajemen.
·
JASA
MANAJEMEN
Pemberian
jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen dalam balas
jasa berupa imbalan manajemen (management
fee).
Jasa
lain diatur dalam Permenkeu Nomor 244/PMK.03/2008 adalah :
1.
Jasa penilai (appraisal);
2.
Jasa aktuaris;
3.
Jasa akuntansi, pembukuan, dan
atestasi laporan keuangan;
4.
Jasa perancang (design);
5.
Jasa pengeboran (drilling) di
bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap (BUT);
6.
Jasa penunjang di bidang
penambangan migas;
7.
Jasa penambangan dan jasa
penunjang di bidang penambangan selain migas;
8.
Jasa penunjang di bidang
penerbangan dan bandar udara;
9.
Jasa penebangan hutan;
10. Jasa
pengolahan limbah;
11. Jasa
penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
12. Jasa
perantara dan/atau keagenan;
13. Jasa
di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa
Efek, KSEI dan KPEI;
14. Jasa
custodian/penyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
15. Jasa
pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
16. Jasa
mixing film;
17. Jasa
sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan
perbaikan;
18. Jasa
instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
19. Jasa
perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
20. Jasa
maklon;
21. Jasa
penyelidikan dan keamanan;
22. Jasa
penyelenggara kegiatan atau event organizer;
23. Jasa
pengepakan;
24. Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi;
25. Jasa
pembasmian hama;
26. Jasa
kebersihan atau cleaning service;
27. Jasa
catering atau tata boga.
Pengertian
deviden menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah :
1.
Pembagian laba baik secara
langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
2.
Pembayaran kembali karena
likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3.
Pemberian saham
bonus yang dilakukan
tanpa penyetoran termasuk
saham bonus yang
berasal dari kapitalisasi
agio aham;
4.
Pembagian laba dalam bentuk
saham;
5.
Pencatatan tambahan modal yang
dilakukan tanpa penyetoran;
6.
Jumlah yang melebihi jumlah
setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian
kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7.
Pembayaran kembali seluruhnya
atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun
yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8.
Pembayaran sehubungan dengan
tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba
tersebut;
9.
Bagian laba sehubungan dengan
pemilikan obligasi;
10. Bagian
laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. Pembagian
berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. Pengeluaran perusahaan
untuk keperluan pribadi
pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Pengertian
royalti menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah imbalan sehubungan
dengan penggunaan :
1.
hak atas harta tak berwujud,
misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2.
hak atas harta berwujud,
misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang
dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah
setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan
yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak
(drilling rig), dan sebagainya;
3.
informasi, yaitu informasi yang
belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya
pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi
dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak
perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik,
ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat
diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang
sama.
·
DIKECUALIKAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Penghasilan
yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh pasal 23 adalah :
1.
Penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada bank.
(Bunga
bagi bank adalah active income yag
mengandung risiko usaha sehingga tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 23 namun
tetap merupakan objek pajak bagi bank).
2.
Sewa yang dibayarkan atau
terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan jak opsi.
(Sewa
guna dengan hak opsi identik dengan pembelian barang dan bukan sewa biasa,
sehingga tidak terutang PPh pasal 23 nmaun tetap merupakan objek pajak bagi
penerimanya).
3.
Deviden (inter-corporate dividend) yang diterima oleh perseroan terbatas, BUMN/BUMD, dann koperasi yang
memenuhi persyaratan tertentu dan deviden yang diterima oleh orang pribadi.
(Deviden
yang diterima Wajib Pajak Badan yang memenuhi syarat tertentu bukan merupakan
objek pajak sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh, sehingga tidak dipotong PPh pasal
23.
4.
Bagian laba yang diterima
anggota CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, kongsi.
(bagian
laba tersebut bukan merupakan objek pajak sesuai pasal 4 ayat (3) UU PPh,
sehingga tidak dipotong PPh pasal 23).
5.
Sisa hasil usaha koperasi yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
(SHU
koperasi tersebut merupakan objek pajak Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan terutang
pajak penghasilan bagi yang menerimanya, pengecualian hanya kewajiban koperasi
untuk memotong PPh pasal 23).
6.
Penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur
pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu Nomor 251//PMK.03/2008), yaitu :
a.
Bunga atau imbalan lain yang
diberikan atas penyalur pinjaman dan/atau imbalan lain yang diberikan atas
penyaluran pinjaman dan//atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan
pembiayaan berbasis syariah.
b.
Badan usaha terdiri dari :
1)
Perusahaan pembiayaan yang
merupakan badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga
pembiayaan dan telah memperoleh izin usaha dari menteri keuangan.
2)
Badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana
pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT
Permodalah Nasional Madani (persero).
(Bunga
atau imbalan yang diterima badan usaha atau jasa keuangan tersebut merupakan active income dan mengandung resiko
usaha sehingga bukan merupakan objek PPh pasal 23 namun tetap merupakan objek
pajak PPh bagi penerimanya).
Catatan
penulis :
Tidak
dipotongnya pajak oleh pemotong pajak karena :
1.
Bukan merupakan objek pajak PPh
menurut Pasal 4 ayat (3) UU PPh,
2.
Pertimbangan tertentu, antara
lain active income, mendorong usaha
tertentu, namun tetap merupakan objek PPh bagi penerimanya.
·
PEMOTONGAN,
PENYETORAN, DAN PELAPORAN
1.
Pemotong memotong PPh pasal 23
pada saat pembayaran atau pada saa yang terutang, mana yang lebih dahulu.
2.
Pemotong membeikan bukti potong
PPh pasal 23 kepada pihak yang dipotong. Bagi pihak yang dipotong, bkti potong
PPh pasal 23 merupakan bukti pengkreditan pajak, kecuali PPh pasal 23 tersebut
bersifat final.
3.
Pemotong menyetor PPh pasal 23
secara kolektif per bulan pemotongan dan disetorkan paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya dengan menggunakan surat Surat Setoran Pajak atas nama
Pemotong PPh pasal 23.
4.
Pemotong melaporkan pemotongan
dan penyetoran PPh pasal 23 palibg lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23.
PEMAJAKAN
WAJIB PAJAK LUAR NEGERI:
BENTUK
USAHA TETAP DAN
PEMOTONGAN
PENGHASILAN WAJIB PAJAK LUAR NEGERI (PPh pasal 26)
·
DASAR
HUKUM
1.
Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh)
2.
Pasal 26 UU Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh)
3.
Perjanjian Penghindaran Pajak
berganda (P3B) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah (partner) lain.
·
KEDUDUKAN
DALAM UU PPh
1.
Indonesia berwenag untuk
memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diperoleh
oleh Wajib Pajak Luar Negeri.
2.
Menurut UU PPh, pemajakan atas Wajib Pajak Luar Negeri
dikelompokkan :
a.
Berusaha dan berada di Indonesia.
1.
Apakah tidak ada tax treaty atau
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), PPh yang terutang mengacu
ketentuan Pasal 5 UU PPh mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan apabila tidak
memenuhi syarat BUT pengenaan PPh terutang mengacu PPh Pasal 26
2.
Apabila ada P3B, penajakan
mengacu pada ketentuan BUT menurut P3B. Apabila tidak memenuhi syarat BUT
sesuai ketentuan P3B, Indonesia tidak berhak memungut pajak atas usaha WP Luar
Negeri tersebut (tidak berhak memungut PPh Pasal 26).
3.
Pengenaan PPh BUT dianggap
sebagai subjek pajak badan dalam negeri.
b.
Tidak berusaha dan berada di
Indonesia.
1.
Apabila tidak ada tax treaty atau perjanjian
penghindaran pajak berganda (P3B), PPh yang terutang mengacu ketentuan Pasal 26
UU PPh.
2.
Apabila ada P3B, pemajakannya
mengacu pada ketentuan P3B. apabila Indonesia berhak memungut , PPh yang
terutang dipungut Pasal 26 dengan tariff sesuai P3B.
·
BENTUK
USAHA TETAP MENURUT UU PPh
Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Pasal
2 ayat (5) UU PPh, bentuk Usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri untuk mejalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
1. Tempat
kedudukan manajemen;
2. Cabang
perusahaan;
3. Kantor
perwakilan;
4. Gedung
kantor;
5. Pabrik;
6. Bengkel;
7. Gudang;
8. Ruang
untuk promosi dan penjualan;
9. Pertambangan
dan penggalian sumber alam;
10. Wilayah
kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
11. Perikanan,
peternakan, peranian, perkebunan atau kehutanan;
12. Proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh
pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam
jangka waktu 12 bulan;
14. Orang
atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15. Agen
atau pegawai dari perusahaan asuranasi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di indoensia yang menerima premi asuranaasi atau menanggung risiko di
Indonesia.
16. Computer,
agen elektronik, atau peralatan otomatis yng dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
Bentuk usaha tetap menurut UU PPh tersebut diatas
dapar dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1.
Bentuk Usaha Tetap huruf a
sampai dengan k, merupakan BUT “fasilitas fisik/asset” karena untuk menentukan
BUT dilihat dengan adanya fasilitas fifik atau asset yang merupakan tempat
untuk menjalanka usaha atau kegiatan Wajib Pajk Luar Negeri di Indonesia. Jenis
BUT ini dimulai pada saat adanya kegiatan usaha di tempat usaha tersebut.
2.
Bentuk Usaha Tetap huruf I dan n merupakan BUT
“aktifitas”. Kalau proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan tidak
adanya batasan waktu (time test0, sehingga setiap adanya proyek konstruksi,
instalasi atau proyek perakitan dilakukan oleh WPLN di Indonesia maka langsung
memenuhi kriteria sebagai BUT. Sedangkan untuk jasa lainnya 9di luar tiga jenis
jasa tersebut diatas ada pencantuman minimum time test guna menentukan kriteria
BUT, yaitu harus memenuhi syarat jasa tersebut dilakukan di Indonesia lebih
dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
3.
Bentuk Usaha Tetap huruf n
merupakan BUT “keagenan”. Agen yang meenuhi syarat sebagai BUT adalah agen
tidak bebas (dependent agent). Penentuan agen tidak bebas dapat berdasarkan
criteria legal atau ekonomis. Criteria legal dapat dilihat dalam aturan-aturan
tertulis yang ada dalam agen tersebut. Criteria ekonomis terjadi apabila agen
tersebut melayani atau menjalankan kegiatan usaha atas perintah atau instruksi
dari WPLN.
4.
Bentuk Usah Tetap huruf o
merupakan BUT “perusahaan asuransi”. Criteria BUT ini dapat berdasarkan tempat
udaha keagenan, atau penerimaan premi atau penutupan risiko di Indonesia
melalui pegawai (agen).
Objek BUT menurut UU PPh
Berdasarkan
Pasal 5 UU PPh yang termasuk objek pajkak BUT adalah sebagai berikut.
1. Penghasilan
darai usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap
tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai 9penghasilan BUT
yang bersangkutan)
2. Penghasilan
kantor pusat dari usaha , kegiatan, penjualan barang atau pemebrian jasa di
Indonesia ynag sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oelh BUT di Indoensia
(force of attraction). Pendekatan ini didasarkan kenyataan bahwa usaha atau
kegiatan kantor pusat tersebut di Indonesia masih termasuk ruang lingkup usaha
atau kegiatan yang dapat dilakukan BUT.
3. Penghasilan
berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminin pengembalian utang, royalty, sewa, imbalan sehhubungan dengan
jasa/pekerjaan/kegiatan, hadiah atau penghargaan, pension/pembayaran berkala
lainnya, yang diterima oleh kantor pusat WPLN dari Indonesia, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan haarta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan tersebut.
PPh yang Terutang BUT Menurut UU PPh
Pemajakan
BUT menurut UU PPh juga menganut dua system pemajakan, yaitu:
1.
Tarif tertentu
Tarif tertentu dikenakan kepada
jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan kegiatan usaha tertentu, ayitu:
a. Keputusan
menkeu nomor 632?KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994: PPh yang terutang atas
BUT berupa cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional sebesar
2,64% dari peredaran bruto/kotor dan bersifat final.
b. Keputusan
Dirjen Pajak Nomor 667/PJ/2001: PPh yang terutang kantor perwakilan dagang
asing (representative office) sebesar 0.44% dari nilai ekspor perusahaan ke
Indonesia apabla tidak ada tax treaty/perjanjian penghindaran pajak berganda
(P3B).
c. Apabila
ada tax treaty dihitung sebagai berikut:
Contoh:
Tarif
BPT dalam P3B Indonesia dengan Spanyol (nomor 43 dari table terlampir) sebesar
10%. Dengan demikian, tarif apajak yang terutang adalah sebagai berikut.
PPh
atas penghasilan kena pajak terutang
|
30%x1%
|
0.30%
|
Penghasilan
kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
|
10%
x (1-0.3)%
|
0.07%
|
(branch
profit tax/BPT) (tarif 10%)
|
|
0.37%
|
2.
Tarif Umum Pasal 17 UU PPh
Tarif
umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis Bentuk usaha Tetap selain tersebut
pada butir C.1 tersebut diatas, dengan perhitungan sebagai berikut.
a.
Tarif Pasal 17 x Penghasilan
Kena Pajak
b.
Penghasilan Kena Pajak =
Penghasilan neto dikurangi kompensasi
c.
Penghasilan neto = Objek BUT –
biaya fiscal Pasal 6 ayat (1) UU PPh
Dalam
menentukan besarnya laba suatu BUT juga
diberikan tambahan penjelasan sebagai berikut.
a.
Biaya administrasi kantor pusat
yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan
BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
b.
Pembayaran kepada kantor pusaat
yang tidak boleh dikurangkan adalah: royalty atau imbalan lainnya sehubungan
dengan penggunaaan harta, paten,atau hak-hak lainnya, imbalan sehubungan dengan
jasa menajemen dan jasa lainnya, bunga, ekcuali bunga yang berhubungan sengan
usaha perbankan. Pembayaran serupa yang diterima atau diperolah dari kantor
pusat tidak dianggaap sebagai objek pajak BUT, kecuali bunga berkenaan dengan
usaha perbankan.
Pemajakan
Laba Setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation) Menurut UU PPh
Dividen atau bagian laba hasil ussaha WP
dalam negeri terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama
maka laba setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20%.
Sesuai
Permenkeu Nomor 257/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 pengecualian pajak setelah laba BUT dapat diberikan dengan
syarat:
1.
Penanaman diberikan dalam bentuk
penyertaan modal pasa perusahaan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendiri.
2.
Perusahaan baru yang didirikan
dan berkedudukan di Indoensia sebagaimana dimaksud huruf a, harus secara aktif
melakukan kegiataan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 (satu)
tahun sejak perusahaan tersebut didirikan.
3.
Penanaman dilakukan dalam tahun
berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya setelah perolehan laba.
4.
Tidak ada pengalihan penanaman
sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun setelah perusahaan dimaksud
berproduksi secara komersial.
PENGARUH
P3B ATAS PEMAJAKAN BUT
- Apabila antara pemerintah Indonesia mengadakan P3B dengan pemerintah Negara lain, maka criteria BUT, objek pajak BUT dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B tersebut, dan mengesampingkan ketentuan sebagailmana tercantum dalam UU PPh.
- Pada umumnya BUT menurut P3B antara pemerintah Inondesia dengan pemerintah Negara lainnya dibagi: bentuj usaha tetap fisik/tempat, dan bentuk usaha tetap jasa.
Sebagian
besar P3B menegaskan:
a.
Penentuan BUT fisik sama dengan
menurut UUPPh yaitu sepanjang ada tempat atau bangunan atau cabang sudah
memenuhi criteria BUT sehingga Indonesia sebagai Negara sumber berhak penuh
untuk mengenakan pajak atas WPLN.
b.
Penentuan BUT atas semua jasa
yang dilakukan di Indonesia atau Negara partner menggunakan waktu tes (time
test) minimum termasuk juga jasa konstruksi, instalaasi dan perakitan.
Apabila
suatu jasa atau kegiatan di Indonesia melebihi time test P3B, Indonesia sebagai
Negara sumber berhak penuh mengenakan pajak atas WPLN tersebut karena sudah
memenuhi syarat BUT.
Apabila
suatu jasa atau kegiatan di Indonesia belum melebihi waktu tes P3B, Indonesia
sebagai Negara sumber berhak tidak mengenakan atas WPLN tersebut karena tidak
memenuhi syarat BUT, dan juga tidak dapat mengenakan Pasal 26 karena hamper
semua P3B menegaskan bahwa kegiatan usaha (active income) hanya dapat dikenakan
di Negara sumber apabila hanya memenuhi syarat BUT saja.
- Pada umumnya hamper semua P3B juga mengatur adanya fasilitas yang mirip dengan tempat tetap, namun tidak boleh dianggap sebagai BUT, yaitu sebagai berikut.
a.
Pemakaian fasilitas semata-mata
untuk menyimpan, memamerkan atau menyerahkan barang atau barang dagangan milik
perusahaan luar negeri.
b.
Penimbunan persediaan barang
atau barang dagangan perusahaan luar negeri semata-mata untuk tujuan menyimpan,
memamerkan atau menyerahkan.
c.
Penimbunan persediaan barang
atau barang dagangan perusahaan luar negeri semata-mata untuk diproses
perusahaan lain.
d.
Pemeliharaan tempat tetap untuk
usaha yang semata-mata untuk membeli barang atau barang dagangan ataupun
mengumpulkan informasi untuk perusahaan luar negeri.
e.
Pemeliharaan tempat tetap
semata-mata untuk persiapan bagi kegiatan usaha perusahaan luar negeri.
f.
Pemeliharaan tempat tetap
semata-mata untuk melakukan kegiatan gabungan tersebut di atas denga syarat
kegiatan tersebut tetap merupakan persiapan atau sekedar kegiatan pelengkap.
- Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak setelah laba yang diperolah BUT, namun perbedaanya dalah tarif yang lebih rendah dari 20%.
- Usaha asuransi pada umunya dianggap mempunyai BUT menurut P3B apabila ada:
a.
Tempat tetap (fixed place of
business), atau
b.
Menerima prmei dari wilayah
Negara melalui seseeorang atau agen yang tidak mempunyai status bebas. (ada
dependent agent)
- Beberapa contoh time test untuk penentuan BUT jasa berdasarkan P3B dengan Negara partner sebagai berikut.
No
|
Negara
|
Proyek Konstruksi
|
Instalasi
|
Proyek Perakitan
|
Jasa Pengawasan
|
Jasa Lainnya
|
1
|
Autralia
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
2
|
Austria
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
3
|
Amerika Serikat
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
120 hari
|
4
|
Belanda
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
5
|
Belgia
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari
|
6
|
Bulgaria
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
120 hari
|
7
|
Cina
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
8
|
Denmark
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
9
|
Filipina
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
6 bulan
|
183 hari
|
10
|
Finlandia
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
11
|
Hungaria
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
4 bulan
|
12
|
India
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
91 hari
|
13
|
Inggris
|
183 hari
|
-
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
14
|
Italia
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
15
|
Jepang
|
6 bulan
|
6 bulan
|
-
|
6 bulan
|
6 bulan
|
16
|
Jerman
|
6 bulan
|
6 bulan
|
-
|
-
|
-
|
17
|
Kanada
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
18
|
Korea Selatan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
19
|
Luksmburgh
|
5 bulan
|
5 bulan
|
5 bulan
|
5 bulan
|
-
|
20
|
Malaysia
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
-
|
3 bulan
|
21
|
Norwegia
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
63bulan
|
22
|
Pakistan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
-
|
23
|
Perancis
|
6 bulan
|
-
|
6 bulan
|
183 hari
|
183 hari
|
24
|
Polandia
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
120 hari
|
25
|
Selandia Baru
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
26
|
Singapura
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
-
|
90 hari
|
27
|
Srilanka
|
90 hari
|
90 hari
|
90 hari
|
90 hari
|
90 hari
|
28
|
Swedia
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
3 bulan
|
29
|
Swiss
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
183 hari
|
-
|
30
|
Taiwan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
120 hari
|
31
|
Thailand
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
6 bulan
|
183 hari
|
32
|
Tunisia
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
3 bulan
|
MENERIMA
PENGHASILAN DILUAR KEGIATAN USAHA (PASIVE INCOME) YANG BERSUMBER SARI INDONESIA
Apabila
Tidak Ada tax treaty, Dipotong PPh Pasal 26 Sesuai UU PPh
Tarif PPh Pasal 26 UU PPh:
- Sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan yang diterima/diperoleh WPLN berupa:
a.
dividen;
b.
bunga , termasuk premium,
diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan penegembalian utang;
c.
royalty, sewa, dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta
d.
imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan atau kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun;
f.
pension dan penghasilan berkala
lainnya;
g.
premi swap dan transaksi lindung
lainnya;
h.
keuntungan karena pembebasan
utang.
- Sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto, atas penghasilan berupa:
a.
Penjualan saham Pasal 18 ayat 3c
sesuai Permenkeu Nomor 258/PMK.03/2008 dengan perkiraan penghasilan neto
sebesar 25%
b.
Premi asuransi dan premi
reasuranasi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, sesuai
Kepmenkeu Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994.
1) 20%
x 50% x penghasilan bruto, untuk asuransi pertama (orang Indonesia membayar
premi pada perusahaan asuransi WPLN).
2) 20%
x 10% x penghasilan bruto, untuk reasuransi pertama (perusahaan asuransi
Indonesia membayar premi kepada
perusahaan reasuransi WPLN).
3) 20%
x 50% x penghasilan bruto, untuk asuransi dan seterusnya (perusahaan reasuransi
Indonesi membayar kepada perusahaan reasuransi WPLN).
- Sebesar 20% dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap (branch after profit tax), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak dipotong PPh Pasal 26 sesuai Permenkeu Nomor 257/PMK.03/2008.
Contoh:
PT.
A membayar royalty kepada X Ltd. di luar negeri sebesar Rp 100.000.000,00 dan
tidak ada P3B dengan Indonesia, maka PT. A wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar
20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000,00.
Pemotong
PPh Pasal 26
- Badan pemerintah;
- Subjek pajak dalam negeri (orang pribasi dan badan);
- Penyelenggara kegiatan;
- Bentuk Usaha Tetap;
- Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan
- Pemotongan PPh Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukan pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan (timbulnya beban kewajiban membayar atau dibebankan dalam biaya) mana yang terlebih dahulu.
- Pemotong PPh Pasal 26 wajib menyetor PPh Pasal 26 paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ersebut.
- Pemotong PPh Pasal 26 wajib menyampaikan SPT Mas PPh Pasal 26 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak tersebut.
- PPh Pasal 26 atas penghasilan kena apajk setelah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, terutang dan harus dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.
Apabila
ada Tax treaty
Pada umumnya dalam P3B antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Negara partner diatur sesuai OECD atau UN Model
sebagai berikut.
- Bunga,dividen dan royalty pengenaan pajaknya dibagi dua antara negara sumber dan domisili, sehingga Indonesia sebagai Negara sumber hanya berhak mengenakan sebagian pajak dengan penerapan PPh Pasal 26 sesui tarif P3B yaitu lebih rendah daripada tarif 20%.
- Pembayaran jasa yang dilakukan WPLN di Indonesia dapat dikenakan pemajakan di Indonesia apabila emenuhi syarat sebagai BUT menurut P3B, kecuali dengan Negara tertentu saja yang terutang PPh Pasal 26 meskipun tidak memenuhi syarat BUT.
- Pembayaran jasa yang diterima oleh WPLN dan tidak dilakukan di Indonesia, juga tidak terutang PPh Psal 26 kecuali jasa tersebut termasuk kategori royalti. Hampir semua P3B memberikan batasan definisi royalty dengan pengertian yang cukup luas. Jasa yang tidak dilakukan di Indonesia dapat juga kategori sebagai royalty atau jasa, sehingga perlu pendalaman hakekat ekonomis transaksi yang bersangkutan.
- Pekerjaan bebas (independent personal services) atau pekerjaan professional, Indonesia berhak untuk memungut pajak atas penghasilan tersebut apabila melebihi minimum time test atau punya tempat usaha/pangkalan tetap. Apabila tidak memenuhi minimum time test atau punya pangkalan usaha tetap, maka Indonesia tidak berhak untuk memungut pajak.
- Pekerjaan dalam hubungan kerja dan gaji karyawan tersebut dibayar atau dibebankan perusahaan Indonesia, Indonesia berhak untuk meungut pajak atas gaji yang bersangkutan. Karyawan WPLN yang berasa di Indonseia kurang dari 183 hari dan tidak bias menunjukkan KITAS/IKTAS (Kartu Izin Tinggal Sementara atau Izin Kerja Tenag Asing), dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%. Namun apabila lebih dari 183 hari atau bias menunjuukan KITAS/IKTAS, maka karyawan WPLN tersebut dianggap WPDN sehingga terutang PPh Pasal 21 seperti karyawan/pegawai tetap.
- Gaji direktur sebagai board of director dan penerimaan lainnya sebagai day to day management, Indonesia berhak memungut pajak sepanjang dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan dalam negeri.
- Penghasilan artis dan atlet apat dikenakan pajak di Negara sumber penghasilan. Artis dan atlet tidak termasuk sebagai independen maupun dependent personal services.
- Penjualan harta pada umumnya dibagai sebagai berikut.
a.
Penjualan harta tak bergerak
dapat dikenakan pajak oleh negara sumber,
b.
Penjualan harta bergerak bagian
BUT atau tempat usaha tetap oleh Negara sumber,
c.
Kapal laut atau pesawat udara di
jalur internasional oleh Negara domisili,
d.
Penjualan harta lainnya oleh
Negara domisili.
Untuk dapat menerapkan
tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B atau tax treaty, maka WPLN tersebut harus bisa
menunjukkan surat keterangan domisili atau Certificate of Domicilie (COD) dari
kantor pajak Negara tempat WPLN domisili.
Ketentuan tersebut di
atas merupakan petunjuk umum saja, sehingga masih perlu melihat ketentuan P3B
masing-masing negara dengan Indonesia.
Contoh:
PT. ABC pada tahun 2004
melakukan transaksi sebagai berikut.
- Bulan Januari, membayar jasa keonsultan kepada A Ltd. dari Negara Hongkong sebesar Rp100,000.000.00. Jasa tersebut dilakukan di Indonesia selama 30 hari.
- Bulan Februari, membayar dividen kepada B Ltd. dari Negara Hongkong sebesar Rp50.000.000,00 dan C Ltd dari Negara Jepang sebesar Rp50.000.000 ,00
- Bulan Maret, membayar jasa penelitian kepada D Ltd dari Negara Jepang sebesar Rp75.000.000,00. Jasa tersebut dilaksanakan di Indonesia selama 30 hari.
Perhitungan
Pajak WPLN tersebut sebagai berikut.
- Januari 2004: tidak ada P3b antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Hongkong sehingga berlaku penuh UU PPh. Jasa tersebut dilakukan selama 30 hari di Indonesia dan jasa tersebut bukan jasa konstruksi, instalasi, dan perkaitan sehingga tidak memenuhi syarat BUT karena kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, karena tidak memnuhi syarat BUT, maka pengenaan pajaknya menggunakan PPs Pasal 26. Menurut Pasal 26 PPh pembayaran jasa terutang pajak sebesar 20%, sehingga PPh pasal 26 yang terutang sebesar 20% x Rp100.000.000,00 = Rp20.000.000,00.
PT.
ABC wajib memotong PPh Pasal 26 tersebut pada bulan Januari 2004, dan wajib
menyetor PPh Pasal 26 Masa Januari tersebut ke bank persepsi/kantor pos paling
lambat tanggal 10 Februari 2004, serta wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 26
ke KPP tempat PT. ABC terdaftar paling lambat tanggal 20 Februari 2004.
- Bulan Februari 2004:
a.
wajib memotong PPh Pasal 26
kepada B Ltd. sebesar 20% x Rp50.000.000,00= Rp10.000.000,00.
b.
Wajib memotong PPh Pasal 26
kepada C Ltd. sebesar 10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00 apabila
kepemilikan saham C Ltd. di PT. ABC minimal 25%. Apabila kurang dari 25%
terutang PPh Pasal 26 sebesar 15% x Rp50.000.000,00 = Rp7.500.000,00. (sesuai
P3B dengan Negara jepang).
- Bulan Maret 2004: sesuai P3B dengan Jepang, imbalan atas jasa hanya dikenakan pajak di suatu Negara apabila memenuhi syarat sebagai bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) dan tidak dapat dikenakan secara scheduler taxation (PPh Pasal 26).
- Syarat kegiatan jasa memenuhi BUT apabila jasa tersebut dilakukan dalam jangka waktu enam(6) bulan. Oleh karena jasa tersebut dilakukan di Indonesia dalam jangka waktu 30 hari, maka jasa tersebut tidak memenuhi syarat BUT. Indonesia tidak berhak untuk menungut pajak sama sekali.
Tabel Tarif PPh Pasal 26 Berdasarkan P3B
Indonesia dengan Negara Partner
|
||||||||||||||
No
|
Negara
|
DIVIDEN
|
BUNGA
|
ROYALTI
|
Laba BUT
|
|||||||||
1 Tarif
|
Dua Tarif
|
|||||||||||||
Penyertaan Minimal
|
Portofolio
|
Umum
|
Tertentu
|
Bank Sentral
|
Umum
|
Khusus
|
||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
||||
1
|
Autralia
|
15%
|
0
|
0
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
15%
|
||||
2
|
Austria
|
-
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
12%
|
||||
3
|
Amerika
Serikat
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
4
|
Afrika
Selatan
|
|
10%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
5
|
Aljazair
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
10%
|
||||
6
|
Belanda
|
10%
|
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
7
|
Belgia
|
|
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
8
|
Brunei
Darussalam
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
10%
|
||||
9
|
Bulgaria
|
15%
|
25%→10%
|
-
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
15%
|
||||
10
|
Cina
|
10%
|
|
-
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
11
|
Republik
Cheska
|
|
25%→10%
|
15%
|
12.5%
|
-
|
0%
|
12.5%
|
|
12.5%
|
||||
12
|
Denmark
|
|
25%→10%
|
20%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
15%
|
||||
13
|
Finlandia
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
15%
|
||||
14
|
Filipina
|
|
25%→10%
|
20%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
15%
|
||||
15
|
Hungaria
|
15%
|
25%→10%
|
15%
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
15%
|
||||
16
|
India
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
10%
|
||||
17
|
Inggris
|
|
15%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
10%
|
||||
18
|
Italia
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
15%
|
||||
19
|
Jepang
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
10%
|
||||
20
|
Jerman
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
10%
|
||||
21
|
Kanada
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
15%
|
||||
22
|
Korea
Selatan
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
10%
|
||||
23
|
Kuwait
|
10%
|
|
-
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
24
|
Luksemburgh
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
12.5%
|
10%
|
10%
|
||||
25
|
Malaysia
|
15%
|
|
|
5%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
12.5%
|
||||
26
|
Mauritius
|
|
20%→10%
|
10%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
27
|
Mesir
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
15%
|
||||
28
|
Mongolia
|
10%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
29
|
Norwegia
|
15%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
15%
|
||||
30
|
Pakistan
|
|
25%→10%
|
15%
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
15%
|
10%
|
||||
31
|
Perancis
|
|
25%→10%
|
15%
|
15%/10%
|
-
|
0%
|
10%
|
-
|
10%
|
||||
32
|
Polandia
|
|
20%→
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
-
|
10%
|
||||
|
|
|
10%→
|
10%
|
||||||||||
33
|
Rumania
|
|
20%→
|
15%
|
12.5%
|
-
|
0%
|
15%
|
12.5%
|
12.5%
|
||||
|
|
|
12.5%→
|
|
|
|
|
|
||||||
34
|
Rusia
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
12.5%
|
||||
35
|
Arab
Saudi
|
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
|
||||
36
|
Selandia
Baru
|
15%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
20%
|
||||
37
|
Seychelles
|
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
-
|
||||
38
|
Singapura
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
15%
|
||||
39
|
Slovakia
|
10%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
10%
|
||||
40
|
Spanyol
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
10%
|
||||
41
|
Sri
lanka
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
20%
|
||||
42
|
Sudan
|
10%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
10%
|
||||
43
|
Suriah
|
10%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
15%
|
|
||||
44
|
Swedia
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
|
||||
45
|
Swiss
|
|
25%→
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
12.5%
|
15%
|
10%
|
||||
|
|
|
15%→
|
|
|
|
|
|
|
|||||
46
|
Taipei
|
10%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
5%
|
||||
47
|
Thailand
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
10%
|
-
|
||||
48
|
Tunisia
|
|
|
|
12%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
12%
|
||||
49
|
Turki
|
|
25%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
15%
|
||||
50
|
Ukraina
|
|
20%→
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
10%
|
||||
|
|
|
10%→
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
51
|
Uni
Emirat A.
|
10%
|
|
|
5%
|
-
|
0%
|
5%
|
|
5%
|
||||
52
|
Uzbekistan
|
10%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
20%
|
|
10%
|
||||
53
|
Venezuela
|
|
10%→10%
|
15%
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
10%
|
10%
|
||||
54
|
Vietnam
|
15%
|
|
|
15%
|
-
|
0%
|
15%
|
|
10%
|
||||
55
|
Yordania
|
10%
|
|
|
10%
|
-
|
0%
|
10%
|
|
|
||||
Strange "water hack" burns 2 lbs overnight
BalasHapusWell over 160k women and men are utilizing a simple and SECRET "liquid hack" to lose 1-2lbs each and every night while they sleep.
It's easy and works every time.
Here's how to do it yourself:
1) Go get a drinking glass and fill it up half the way
2) And then follow this crazy hack
and you'll become 1-2lbs lighter the next day!