Memahami Keajaiban
Pembangunan di Kota Besar
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Ekonomi Pembangunan
Dosen pengampu: Dr. Drs. Sukirman S.Pd. SH.
MM
Disusun Oleh:
2F
UNIVERSITAS
MURIA KUDUS
FAKULTAS EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
PO.BOX. 53 Gondangmanis Bae Kudus, Telp:
(0291) 438229 ext. 123, Fax: (0291) 437198, Website www.umk.ac.id
DAFTAR ISI
Daftar
Isi..............................................................................................................
2
Daftar
Gambar...................................................................................................... 3
Ringkasan............................................................................................................... 4
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................... 6
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 6
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 6
1.3 Tujuan Makalah................................................................................................. 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 8
2.1 Hakikat Pembangunan....................................................................................... 8
2.2 Kota dan Ekosistem Perkotaan.......................................................................... 17
2.3 Konsep Perancangan Kota................................................................................. 22
2.4 Paradigma Kota Berkelanjutan.......................................................................... 26
BAB III PEMBAHASAN...................................................................................... 33
3.1 Pendahuluan...................................................................................................... 33
3.2 Analisis Deskriptif: Kondisi Bisnis Para Pedagang
Pasar Tradisional............. 34
3.3 Jawaban............................................................................................................. 35
BAB IV PENUTUP................................................................................................ 36
4.1 Kesimpulan........................................................................................................ 36
4.2 Saran.................................................................................................................. 36
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................ 37
LAMPIRAN........................................................................................................... 38
DAFTAR
GAMBAR
Gambar 1. Dimodifikasi dari Interaksi Sosial
sistem dengan ekosistem................ 10
Gambar 2. Skema konsep keterbelakangan
berdimensi jamak............................... 14
Gambar 3. Ekosistem Perkotaan.............................................................................. 21
Gambar 4. Pembagian Zona Kota Menurut Piagam
Athena................................... 23
Gambar 5. Hubungan teori Merancang Roger
Tancik............................................ 24
Gambar 6. Contemporary City' Plan....................................................................... 25
Gambar 7. Contemporary City of Three Million
Inhabitants.................................. 25
Gambar 8. Kawasan bangunan-bangunan di
Jakarta sebagai nukleus.................... 26
RINGKASAN
Pengertian Kota
Menurut
Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan oleh adanya
prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit, pendidikan, pasar, industri
dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang luas dan jalanan beraspal yang
diisi oleh padatnya kendaraan bermotor.
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
Pertumbuhan
dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang saling terkait, bahkan
terkadang saling menggantikan, yang pada intinya adalah suatu proses
perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota (urban growth) adalah perubahan kota
secara fisik sebagai akibat perkembangan masyarakat kota. Sedangkan
perkembangan kota (urban development) adalah perubahan dalam masyarakat kota
yang meliputi perubahan sosial politik, sosial budaya dan fisik (Hendarto,
2001).
Proses
pembangunan dibagi dalam lima tahap, yaitu:
a. Tahapan tradisional, dengan pendapatan
perkapita yang rendah dan kegiatan ekonomi yang stagnan.
b. Tahapan transisional, di mana tahap prakondisi
bagi pertumbuhan dipersiapkan.
c. Tahapan lepas landas (ini merupakan permulaan
bagi adanya proses pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan).
d. Tahapan awal menuju kematangan ekonomi.
e. Tahapan produksi dan konsumsi massal yang
bersifat industri (tahapan pembangunan atau development stage).
Rogers
(2004) memberikan beragam makna bagi kota berdasarkan aspek pelayanan, sebagai
berikut:
a. Suatu kota yang adil adalah suatu kota yang
mendapat keadilan akan makanan, tempat perlindungan, pendidikan, kesehatan dan
harapan, serta semua orang berpartisipasi dalam kegiatan kota.
b. Suatu kota yang indah adalah suatu kota
terdapat seni, arsitektur dan percikan imajinasi pemandangan.
c. Suatu kota yang kreatif adalah kota terbuka
bagi siapa saja dan mengerahkan semua potensi sumber daya manusianya serta
mengijinkan suatu perubahan yang cepat.
d. Suatu kota yang ekologis adalah suatu kota
yang memperkecil dampak ekologisnya, di mana pemandangan dan format area
terbangun bangunan-bangunan dan sarana penunjangnya seimbang, aman dan hemat
enerji.
e. Suatu kota yang easy contact dan mobilitas
adalah suatu kota di mana pertukaran informasi dapat terjadi secara cepat
(face-to-face) dan secara elektronik.
Konsep Perancangan Kota
Konsep
perancangan kota-kota saat ini, didasari oleh Piagam Athena (declaration of
Athens) yang dicetuskan dalam kongress keempat CIAM (Congrès internationaux
d’Architecture moderne) pada tahun 1933.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai
dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan merupakan proses
pengolahan sumber daya alam dan pendayagunaan sumber daya manusia dengan
memanfaatkan tekhnologi. Dalam pola pembangunan tersebut, perlu memperhatikan
fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia, agar dapat terus-menerus
menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian
pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah perubahan positif sosial ekonomi
yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung
padanya.
Keberhasilan penerapannya memerlukan
kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas
politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya,
kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Proses pembangunan terutama
bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat baik secara spiritual maupun
material. Definisi ini menunjukan bahwa adanya suatu pembangunan karena suatu
kebutuhan, dan masalah. Adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
adalah suatu harapan. Sedangkan jika harapan tersebut tidak tercapai berarti,
hal itu adalah masalah.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hakikat pembangunan?
2.
Apa pengertian kota dan ekosistem perkotaan?
3.
Bagaimana konsep perancangan kota?
4.
Apa pengertian paradigma kota berkelanjutan?
1.3 Tujuan Makalah
1.
Mengetahui pengertian hakikat pembangunan.
2.
Mengetahui pengertian kota dan ekosistem perkotaan.
3.
Memahami konsep perancangan kota.
4.
Mengetahui pengertian paradigma kota berkelanjutan.
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Pembangunan
Hakikat pembangunan adalah membangun
insani (manusia).
Manusia
adalah bagian dari komunitas biologi yang termasuk di dalam suatu ekosistem
(Clapham 1981). Oleh karena itu, manusia menjadi faktor utama, baik sebagai
subyek maupun obyek, sebab pada dasarnya manusia adalah faktor ekologik utama
(Soetaryono 1985:101). Pada dasarnya pembangunan menekankan pada aspek
nilai-nilai kemanusiaan, seperti; menunjang kelangsungan hidup atau kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup, harga diri atau adanya perasaan yang layak
menghormati diri sendiri dan tidak menjadi alat orang lain, kebebasan atau
kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan. Selain itu, arti pembangunan yang
paling dalam adalah kemampuan orang untuk memengaruhi masa depannya, yang
mencakup; kapasitas, keadilan, penumbuhan kuasa dan wewenang, dan saling
ketergantungan (Todaro 2000).
W.W
Rostow seorang ahli sejarah melihat pembangunan sebagai proses yang bergerak
dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju
(Todaro 1994:64). Proses pembangunan dibagi dalam lima tahap, yaitu:
a. Tahapan
tradisional, dengan pendapatan perkapita yang rendah dan kegiatan ekonomi yang
stagnan.
b. Tahapan
transisional, di mana tahap prakondisi bagi pertumbuhan dipersiapkan.
c. Tahapan
lepas landas (ini merupakan permulaan bagi adanya proses pertumbuhan ekonomi
secara berkesinambungan).
d. Tahapan
awal menuju kematangan ekonomi.
e. Tahapan
produksi dan konsumsi massal yang bersifat industri (tahapan pembangunan atau development stage).
Namun, menurut Todaro (1994:64),
telah terjadi beberapa kritikan dalam pelaksanaan model pertumbuhan ekonomi
“Model Pembangunan Bertahap” ini, seperti: (i) gagasan dasar tentang
pembangunan yang terkandung dalam teori-teori pertumbuhan bertahap tersebut
tidak selalu berlaku; (ii) alasan utama tidak berlakunya teori tersebut bukan
karena tabungan dan investasi tidak merupakan syarat penting (necessary
condition) bagi pemacuan pertumbuhan ekonomi; (iii) pengadaan tabungan dan
investasi belum menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk memacu
pertumbuhan ekonomi; (iv) agar pertumbuhan tersebut bisa berlangsung secara
berkesinambungan, maka harus ada pula perubahan sosial, kelembagaan dan sikap
yang bersifat menunjang.
Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional
yang selain mengejar aselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan, juga mensyaratkan berlangsungnya
serangkaian perubahan, serta pengentasan kemiskinan, juga mensyaratkan
berlangsungnya serangkaian perubahan besar-besaran terhadap struktur sosial,
sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional (Todaro 2000).
Selain merupakan bagian dari
ekosistem yang berinteraksi langsung dengan lingkungannya, manusia juga
melakukan interaksi antara manusia lainnya dalam suatu sistem sosial manusia.
Aktifitas-aktifitas atau aksi bersama manusia terbentuk melalui proses
interpretasi terhadap nilai-nilai dan pengetahuan, karena itu sosial sistem
merupakan suatu konsep penting (pusat) dalam ekologi manusia atau ekosistem
manusia (Clapham 1981). Dari semua organisme hidup, hanya manusialah yang mampu
berteori. Oleh karena itu mereka mampu menemukan cara-cara untuk berinteraksi
dengan ekosistem dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Menurut Clapham (1981),
suatu masyarakat (system social) dapat merubah dan merawat suatu ekosistem
dalam suatu struktur yang sangat berbeda dari kondisi aslinya sesuai
keinginannya (Gambar 1).
Gambar
1. Dimodifikasi dari Interaksi Sosial sistem dengan ekosistem (Clapham 1981)
Menurut Marten (2001) bahwa teknologi
memungkinkan manusia menjabarkan keinginan-keinginan manusia ke dalam aksi. Di
mana aksi-aksi tersebut merupakan suatu dinamika yang dilakukan secara
bersama-sama dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan.
Kegiatan aktifitas manusia inilah yang menurut Teune (1988:39-40) diartikan
sebagai pembangunan.
Pembangunan adalah suatu proses
berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur
sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional, seperti: percepatan
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan
absolut (Todaro 1994). Menurut Todaro, pada dasarnya pembangunan menekankan
pada aspek nilai-nilai kemanusiaan, seperti; menunjang kelangsungan hidup atau
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, harga diri atau adanya perasaan yang
layak menghormati diri sendiri dan tidak menjadi alat orang lain. Secara
mendasar, arti pembangunan yang adalah kemampuan orang untuk memengaruhi masa
depannya, yang mencakup; kapasitas, keadilan, penumbuhan kuasa dan wewenang,
dan saling ketergantungan (Todaro 2000). Menurut Keats (2004) bahwa sebagian
besar dimensi pembangunan yang dilaksanakan adalah sebagai suatu peningkatan
gaya hidup masyarakat dengan meningkatkan pendidikan, pendapatan, pengembangan
ketrampilan dan ketenaga-kerjaan. Secara khusus pembangunan yang bersifat
multidimensional memiliki arti dimensi yang berbeda-beda di belahan bumi yang
memiliki negara-negara maju dengan di belahan bumi yang masih memiliki
negara-negara yang belum dan sedang berkembang (Keats 2004).
Namun, secara tegas dikemukakan
Servaes dalam Keats (2004) bahwa pembangunan tidak hanya suatu proses saja
tetapi proses yang menghasilkan suatu perubahan, dengan cara meningkatkan semua
aspek hidup masyarakat ini, sehingga pembangunan harus dipandang sebagai suatu
proses multi-dimensional, di mana terjadi perubahan utama dalam struktur
sosial, sikap dan suatu kondisi kehidupan nasional dari hidup yang tidak memuaskan
ke memuaskan. Menurut Teune (1988:39) bahwa pembangunan berhubungan dengan
suatu proses dan keadaan suatu sistem dan sistem itu adalah perkembangan dan
kurang lebih telah berkembang
Pembangunan merupakan suatu proses
multidimensional yang selain mengejar aselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan, juga mensyaratkan
berlangsungnya serangkaian perubahan, serta pengentasan kemiskinan, juga
mensyaratkan berlangsungnya serangkaian perubahan besar-besaran terhadap
struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional
(Todaro 2000).
Menurut Denis Goulet yang dikutip
dalam Todaro (2000), pembangunan lebih mengarah kepada perubahan yang
menyeluruh yang meliputi usaha penyelarasan keseluruhan sistem sosial terhadap
kebutuhan dasar dan keinginan-keinginan yang berbeda bagi setiap individu dan
kelompok sosial dalam sistem tersebut. Lebih rinci pembangunan, Goulet
berpendapat bahwa pembangunan adalah berpindahnya dari suatu kondisi yang
dianggap sebagai tidak menyenangkan kepada suatu kondisi yang menyenangkan yang
dianggap “lebih baik” atau yang lebih berperikemanusiaan secara material dan
spiritual.
Pembangunan berperikemanusiaan
menurut Goulet, dicapai melalui tiga nilai inti, yaitu: (i) nafkah hidup yang
diartikan dalam pemenuhan kesejahteraan individu yang sering diukur dalam
bentuk pendapatan per kapita; (iii) bebas dari perbudakan dan dapat memilih
yang diartikan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kualitas
hidup secara umum; dan (iii) harga diri (self-esteem dan self-respect).
Menurut Todaro (2000) bahwa inti yang
akan dicapai dalam pembangunan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (Basic
Needs) pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan. Bila salah satu diantaranya
tidak ada atau penawarannya hanya sedikit, maka disebut dengan “keterbelakangan
absolut” itu ada. Nilai inti yang kedua, adalah: bebas dari perbudakan, untuk
dapat memilih.
Di mana konsep kebebasan yang
dimaksud disini bukan dalam arti politik atau ideologi, tetapi kebebasan disini
adalah yang lebih mendasar, yaitu: emansipasi dari keterasingan kondisi-kondisi
material dalam kehidupan dan dari perubahan sosial, terhadap alam, kebodohan
orang lain, kesengsaraan, lembaga-lembaga dan kepercayaan yang bersifat
dogmatis. Dan nilai inti ketiga yang ingin di capai dalam pembangunan adalah:
harga diri atau menjadi orang yang memiliki harga diri yang artinya berharga
dan terhormat dan tidak digunakan oleh orang lain sebagai alat dari
tujuan-tujuannya. Bentuk dasar dari harga diri adalah: identitas, martabat,
sikap hormat, penghargaan dan pengakuan.
Pembangunan menurut Teori Lewis
(Todaro 2000) adalah pembangunan ditinjau dan diukur melalui kondisi
perekonomian. Di mana perekonomian terkebelakang terdiri atas dua sektor,
yaitu: (i) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan
penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan
nol atau surplus tenaga kerja. Ini disebabkan oleh penarikan sebagian tenaga
kerja dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan output
sedikitpun; dan (ii) sektor industri perkotaan yang tingkat produktivitasnya
tinggi menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi
sedikit dari sektor subsisten (pedesaan). Perhatian teori ini pada terjadinya
proses pengalihan tenaga kerja serta pertumbuhan output dan peningkatan
penyerapan tenaga kerja di sektor yang moderen. Pengalihan tenaga kerja dan
pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output
pada sektor moderen tersebut.
Menurut Todaro (1994:93), pembangunan
dapat dilihat dari keberadaan dua kondisi masyarakat di dunia (dualistik). Di
mana dunia terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu negara-negara kaya dan
miskin. Di negara-negara kaya memang masih ada sebagian penduduknya yang miskin
dan sebaliknya di negara-negara miskin ada segelintir penduduknya yang makmur
sejahtera. Pada dasarnya, konsep dualistik ini terdiri dari empat elemen kunci,
yaitu: (i) di setiap tempat dan konteks, selalu saja ada sejumlah elemen
“superior” dan sekaligus “inferior”; (ii) koeksistensi tersebut bukanlah suatu
hal yang bersifat sementara atau transisional, melainkan sesuatu yang bersifat
baku, permanen dan kronis; (iii) kadar superioritas serta inferioritas dari
masing-maisng elemen tersebut bukan hanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan
berkurang, melainkan bahkan cenderung meningkat; (iv) hubungan saling
keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-elemen lainnya
yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga
keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa
manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior. Dengan
demikian apa yang disebut sebagai prinsip “penetesan kemamuran ke bawah”
(trickle down effect) itu sesungguhnya sulit diterima.
Bahkan di dalam kenyataannya,
elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi,
mengeksploitasi ataupun menekan elemen-elemen inferior. Teori pembangunan dualistik
yang mengakibatkan keterbelakangan karena yang kembangkan justru
keterbelakangan (Todaro 1994:94).
Menurut Todaro (1994) bahwa
keterbelakangan adalah akibat pelestarian rendahnya taraf hidup, harga diri dan
terbatasnya kebebasan (Gambar 2). Rendahnya taraf hidup yang berkaitan erat
dengan salah satu bentuk atau yang lainnya dari rendahnya pendapatan. Rendahnya
pendapatan ini sebagai akibat dari rendahnya produktivitas rata-rata dari
keseluruhan angkatan kerja (labor force), bukan hanya dari mereka yang bekerja.
Rendahnya produktivitas angkatan kerja dapat diakibatkan oleh berbagai faktor,
dari sisi penawaran adalah masalah kesehatan, gizi, dan sikap terhadap
pekerjaan, pertambahan penduduk yang tinggi serta tingginya tingkat
pengangguran dan setengah penganggur (underemployment).
Pada
sisi permintaan, ketrampilan yang tidak cukup, buruknya unsur pengelolaan dan
rendahnya tingkat pendidikan secara keseluruhan disertai oleh adanya impor
teknik-teknik produksi hemat tenaga kerja dari negara maju, mengakibatkan
terjadinya substitusi modal terhadap buruh dalam berproduksi. Kombinasi dari
rendahnya permintaan terhadap tenaga kerja dan melimpahnya penawaran
menyebabkan tingkat penggunaan tenaga kerja yang rendah menjadi semakin meluas.
Rendahnya pendapatan mengacu kepada
rendahnya tabungan dan investasi yang juga menghambat penambahan kesempatan
kerja. Rendahnya pendapatan diduga berhubungan pula dengan besarnya.
Gambar
2. Skema konsep keterbelakangan berdimensi jamak (Diadopsi dari Todaro 1994)
keluarga,
tingginya kesuburan, karena anak-anak adalah salah satu sumber jaminan ekonomi
dan sosial di masa tua bagi keluarga-keluarga yang sangat miskin. Rendahnya
pendapatan mengakibatkan rendahnya tabungan yang berarti rendahnya investasi,
terbatasnya permintaan tenaga kerja, tingginya tingkat pengangguran, rendahnya
produktivitas, dan dengan demikian pendapatannya pun menjadi rendah.
Pendapatan rendah juga mengakibatkan
terbatasnya kesempatan pendidikan (pada tingkat nasional dan keluarga) dan
kurangnya ketrampilan manajerial. Akibatnya tenaga kerja yang tidak terampil
terpaksa harus menghasilkan pada tingkat produktivitas rendah, yang pada
gilirannya akan melestarikan rendahnya pendapatan. Rendahnya pendapatan
menyebabkan buruknya kesehatan dan gizi pekerja yang disebabkan oleh kurangnya
makanan dan buruknya sanitasi, yang kemudian pada gilirannya merupakan faktor
utama buruknya prestasi kerja dan sikap pada ketepatan (waktu), disiplin, dan
perbaikan diri.
Rendahnya pendapatan, tingginya
tingkat kesuburan, cepatnya pertumbuhan penduduk, tingginya penawaran kerja dan
pengangguran, rendahnya produktivitas per kapita, dan akhirnya tetap rendahnya
tingkat pendapatan menjadi sangat kronis.
Pembangunan menurut pemahaman negara
kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam UU RI Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dirumuskan sebagai Pembangunan
Nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip
kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta
kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.
Model pembangunan Rostow dan
Harrod-Domar secara implisit ternyata mengasumsikan adanya sikap-sikap dan
pengaturan yang sama di negara-negara terkebelakang dan negara-negara Dunia
Ketiga. Di mana negara-negara tersebut masih kekurangan faktor-faktor
komplementer yang paling penting, seperti kecapakan manajerial, tenaga kerja
yang terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek
pembangunan, dan lain sebagainya, sehingga teori-teori pertumbuhan bertahap
gagal memperhitungkan kenyataan-kenyataan penting lainnya (Todaro 1994:68).
Padahal menurut Solihin (2005)
negara-negara Dunia ketiga (termasuk Indonesia) saat ini merupakan integral
dari suatu sistem internasional yang sedemikian rumit dan integratif, sehingga
strategi-strategi pembangunan yang paling hebat dan terencana matang sekalipun
dapat dipatahkan begitu saja oleh kekuatan-kekuatan asing yang keberadaan serta
sepak terjangnya sama sekali di luar kendali negara-negara yang bersangkutan.
Menurut Todaro (1994:93) bahwa
dualisme adalah konsep yang dibahas secara luas dalam ilmu ekonomi pembangunan.
Konsep ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang kian lama terus melebar
antara negara-negara kaya dan miskin, serta di antara orang-orang kaya dan
miskin pada berbagai tingkatan di setiap negara. Pandangan ini melihat dunia
terbagi ke dalam kelompok besar, yaitu negara-negara kaya dan miskin. Di
negara-negara kaya memang masih ada sebagian penduduknya yang miskin dan
sebaliknya di negara-negara miskin ada segelintir penduduknya yang makmur
sejahtera.
Pada dasarnya, konsep dualistik ini
terdiri dari empat elemen kunci, yaitu: (i) di setiap tempat dan kontekes,
selalu saja ada sejumlah elemen “superior” dan sekaligus “inferior; (ii)
koeksistensi tersebut bukanlah suatu hal yang bersifat sementara atau
transisional, melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen dan kronis; (iii)
kadar superioritas serta inferioritas dari masing-maisng elemen tersebut bukan
hanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan cenderung
meningkat; (iv) hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemenyang superior
dengan elemen-elemen lainnya yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung
sedemikian rupa sehingga keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau
sama sekali tidak membawa manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen
yang inferior.
Dengan demikian apa yang disebut
sebagai prinsip “penetesan kemamuran ke bawah” (trickle down effect) itu
sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam kenyataannya, elemen-elemen
superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi,
mengeksploitasi ataupun menekan elemen-elemen inferior. Jadi yang mereka
kembangkan justru keterbelakangan (Todaro 1994:94).
2.2 Kota dan Ekosistem Perkotaan (Urban ecosystem).
Menurut Haughton, G & C.
Hunter (1994), kota adalah suatu wilayah
di mana di dalamnya terdapat orang-orang dan kegiatannya yang secara
terus-menerus meningkatkan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial di
wilayah mereka dari skala wilayah yang kecil sampai dengan skala regional, dan
selalu mendukung tujuan dari pembangunan berkelanjutan secara global.
Rogers (2004) memberikan beragam
makna bagi kota berdasarkan aspek pelayanan, sebagai berikut:
a. Suatu
kota yang adil adalah suatu kota yang mendapat keadilan akan makanan, tempat
perlindungan, pendidikan, kesehatan dan harapan, serta semua orang berpartisipasi
dalam kegiatan kota.
b. Suatu
kota yang indah adalah suatu kota terdapat seni, arsitektur dan percikan
imajinasi pemandangan.
c. Suatu
kota yang kreatif adalah kota terbuka bagi siapa saja dan mengerahkan semua
potensi sumber daya manusianya serta mengijinkan suatu perubahan yang cepat.
d. Suatu
kota yang ekologis adalah suatu kota yang memperkecil dampak ekologisnya, di
mana pemandangan dan format area terbangun bangunan-bangunan dan sarana
penunjangnya seimbang, aman dan hemat enerji.
e. Suatu
kota yang easy contact dan mobilitas adalah suatu kota di mana pertukaran informasi
dapat terjadi secara cepat (face-to-face) dan secara elektronik.
f. Suatu
kota yang ringkas dan banyak pusat kota adalah suatu kota yang melindungi area
pinggiran kota, memiliki pusat-pusat yang dapat mengumpulkan atau menyatukan
masyarakat di dalam skala lingkungannya dan dapat memaksimalkan jarak
tempuhnya.
Namun, menurut Daldjoeni (1997) kota
dapat diartikan sebagai berikut:
a. Suatu
sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang
tinggi dan diwarnai oleh strata sosial-ekonomi yang heterogen dengan corak yang
materialistis
b. Suatu
benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan
gejala-gejala pemusatan daerah belakangnya (hinterland).
c. Sebagai
tempat bermukim warga kota, tempat bekerja, tempat hidup dan tempat berekreasi
dan apabila dilihat dari udara, kota akan nampak berupa susunan bangunan yang
dikelilingi atau dibatasi oleh jalur-jalur jalan atau sungai-sungai yang
diselingi oleh pepohonan besar-kecil.
Menurut Riemer dalam Daldjoeni (1997)
, kota tanpa konstruksi materi maka tidak akan dipermasalahkan bagaimana dan di
mana sesuatu harus dibangun. Jika tanpa relasi sosial maka konstruksi kota itu
tak akan menarik bagi sosiolog. Jadi kota itu selain mewujudkan suatu konstruksi
materi, juga suatu jaringan relasi antara para penghuninya. Konstruksi kota
sekaligus terjalin dalam sistem transportasi kota yang berfungsi melayani
kebutuhan penduduk kota seperti bekerja, berbelanja dan berekreasi. Kelestarian
kota antara lain bergantung pada transportasi intra urbannya. Apabila sistem
ini macet, karena sesuatu maka relasi sosial juga akan mendertia kerugian. Jika
terhenti total karena bencana alam atau peperangan, dapatlah dibuktikan bahwa
terjadi disorganisasi bahkan ancaman maut, karena pelayanan kesehatan dan
pangan terhenti.
Sedangkan menurut Jerman Hofmeister
(1969) dalam Daldjoeni (1997) bahwa kota merupakan suatu pemusatan ruang
(spatial) dari tempat tinggal dan tempat kerja manusia yang kegiatan umumnya di
sekitor ekonomi sekunder dan tersier, dengan pembagian kerja ke dalam dan arus
lalulintas yang beraneka, antara bagian-bagiannya dan pusatnya, yang
pertumbuhannya sebagian besar disebabkan oleh bertambahnya kaum pendatang yang
mampu melayani kebutuhan-kebutuhan barang serta jasa bagi wilayah yang jauh
letaknya. Jika ditinjau secara biologis kota bukanlah sekedar berwujud materi
(seperti gurun dari beton, aspal, besi dan kayu), tetapi mencakup pula manusia
penghuninya dengan segala kegiatannya sambil beradaptasi secara spatial dan
ekologis.
Menurut Daldjoeni (1997), bahwa kota
merupakan suatu bentuk dan simbol dari suatu hubungan sosial yang terpadu,
sehingga ditinjau secara biologis kota merupakan tempat manusia beradaptasi
secara
“keruangan”
dan ekologis. Karena itu, kota dibangun untuk manusia, dan kota ikut menentukan
eksistensi manusia, masyarakat dan negara.
Sehingga
kota dibuat berdasarkan “apa yang masyarakatnya inginkan” demikian pernyataan
Girardet dalam Satterwaite (2001).
Secara
spesifik kota-kota di beberapa negara Asia memiliki arti sebagai berikut (World
Urbanization Prospects: The 2003 Revision):
a. Indonesia:
kota adalah kotapraja (kotamadya), ibukota suatu wilayah (kabupaten) dan
tempat-tempat lain yang memiliki karakteristik perkotaan.
b. Banglades:
kota adalah tempat yang mempunyai suatu kotapraja (pourashava), suatu panitia
kota (shahar) atau suatu dewan pengurus daerah bagian.Umumnya suatu wilayah
perkotaan memiliki konsentrasi populasi minimal 5.000 orang. Suatu perkumpulan
perumahan dimana pengertian antar masyarakat dalam memelihara sarana umum,
seperti jalan, penerangan jalan, distribusi air bersih, pengaturan sanitasi,
dan lain-lain terbangun dengan baik. Scara umum, kota sebagai pusat perdagangan
dan perniagaan di mana tenaga kerja umumnya bukan pertanian dan tingkat melek
huruf tinggi. Wilayah yang mempunyai sifat perkotaan tetapi memiliki kurang
dari 5.000 orang penduduk dan mempunyai kasus istimewa, dapat dipertimbangkan
sebagai perkotaan.
c.
China: Kota adalah hunian
dengan lebih dari 3.000 orang penduduk di antaranya lebih dari 70 persen
dinyatakan terdaftar sebagai penduduk non-pertanian atau suatu hunian dengan
penduduk antara 2.500 ke 3.000 orang, di antaranya lebih dari 85 persen
dinyatakan terdaftar sebagai non-pertanian. Sampai 1982 kota kecil dan kota
besar ditentukan oleh total penduduk. Kota harus mempunyai penduduk sedikitnya
100.000 atau kekuasaan administratif khusus, strategis, atau pentingnya ekonomi
untuk memenuhi syarat sebagai kota.
d.
India: kota adalah semua
tempat yang mempunyai 5.000 atau lebih orang penduduk, suatu kepadatan tidak
lebih dari 1.000 orang per mil persegi atau 390 per kilometer persegi, sifat
perkotaan dengan sedikitnya tiga perempat orang penduduk pria pekerja dewasa
dalam pekerjaan selain pertanian.
e.
Israel: kota adalah semua
hunian dengan lebih dari 2.000 orang penduduk.
f.
Malaysia: kota adalah
wilayah Gazetted yang berhubungan dengan wilayah-wilayah terbangun dan
dengan suatu kombinasi populasi 10.000 orang atau lebih.
g.
Mongolia: kota adalah
pusat Ibu Kota dan daerah.
h.
Pilipina: semua kota dan
kotapraja dengan kepadatan minimal 1.000 orang/km2 dan sebagai pusat
administrasi.
i.
Korea: Kota adalah suatu
tempat dengan 50.000 atau lebih orang penduduk.
j.
Vietnam: kota adalah suatu tempat dengan penduduk 4.000 orang.
Ekosistem urban (perkotaan) adalah
ekosistem yang selalu didominasi oleh susunan kerangka bangunan buatan manusia
seperti bangunan-bangunan dan jalan-jalan (Marten 1991). Ekosistem urban banyak
menghasilkan limbah dan tidak dapat melakukan keseimbangan sendiri. Ekosistem
urban ditentukan dan bergantung pada lingkungan fisiknya serta kebutuhan dan
keinginan manusia (biologi, budaya atau kultur) (Marten 1991). Pertumbuhan kota
terjadi terus menerus meluas dan rumit serta menggunakan banyak teknologi untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan populasi (manusia) yang semakin meningkat,
yang akibatnya memberikan dampak yang besar
Gambar
3. Ekosistem Perkotaan (urban)
bagi ekosistem
alam (Exline et al 1982).
Menurut Exline et al (1982)
ekosistem perkotaan adalah suatu sistem terbuka dengan berbagai jenis masukan
dan banyak pula yang dihasilkannya, baik secara fisik maupun yang berhubungan
dengan kebudayaan (Gambar 3). Ekosistem perkotaan dibagi dalam 2 subsistem yang
besar, yaitu: subsistem yang bersifat fisik dan kebudayaan. Subsistem fisik
sangat berhubungan dengan faktor-faktor ekosistem alam seperti geologi, iklim,
hidrologi dan biologi (Exline et al 1982). Subsistem kebudayaan
berhubungan dengan area perdesaan sebagai bagian dari urban ekosistem, seperti
irama, pola-pola aktifitas yang berulang (Ley 1983). Pola-pola berulang inilah
yang menghasilkan rutinitas dan akhirnya menghasilkan dunia sosial dan gaya
hidup (Ley 1983). Rutinitas yang penting yang menjadi pusat kehidupan kota
adalah kehidupan di sekitar rumah, sekolah dan aktifitas bebas lainnya.
Menurut Evers dalam Dadjoeni (1998:130) bahwa kota
merupakan pusat konsumsi kolektif dan Evers memandang urbanisasi dalam dua
aspek; yaitu: pertama, aspek struktur ekologi sosial kota, yaitu perbedaan kaya
dan miskin nampak menonjol di kota-kota, karena dua kelompok itu terdapatnya
atau tempat tinggalnya berdekatan maka sukar untuk menyusun pengelompokan
regional kota menurut kenyataan konsentrasinya masing-masing kelompok penduduk itu.
Berdekatan dengan wilayah kumuh (slum area), dan ini terbukti bahwa golongan
yang tidak mampu berusaha keras untuk ikut serta dalam konsumsi kolektif yang
tersedia secara terpusat. Karena itu lokasi kawasan kumuh ada di sekitar
stasiun kereta api, belakang hotel-hotel besar, belakang pasar. Kedua, aspek
konflik perkotaan yang umumnya terdapat pada kota-kota kecil di Asia Tenggara
yang biasanya ada dalam sistem kapitalistis, sehingga muncullah serangkaian
kontras yang memuat konflik antara konsumsi perseorangan dan konsumsi kolektif,
juga produksi perorangan dan produksi umum. Sudah semestinya bahwa barang dan
jasa umum itu lebih diadakan untuk melayani kaum menengah dan atasan, sebalinya
kaum miskin selalu diancam dengan aneka gusuran, larangan, gencetan.
Menurut Marten (2001), saat ini dan sedang terjadi di
mana-mana di seluruh dunia, ekosistem perkotaan menggantikan ekosistem
pertanian dan ekosistem alami. Ini merupakan suatu proses yang tidak dapat
berlanjut untuk waktu yang panjang.
2.3
Konsep Perancangan Kota
Konsep perancangan kota-kota saat ini, didasari oleh
Piagam Athena (declaration of Athens) yang dicetuskan dalam kongress
keempat CIAM (Congrès internationaux d’Architecture moderne) pada tahun
1933. Piagam Athena (Charte d’Athènes), yang dikenal juga sebagai Piagam
Tata Kota (Town Planning Chart). Gagasan dasar dari gerakan ini adalah modernité
(modernitas) yang terutama erat berkaitan dengan dua bidang:
industri dan seni garda depan (yang dipelopori oleh Picasso, Mondriaan, Kandinsky)
(Khudori 2004). Hal ini diungkapkan melalui standardisasi, penyeragaman,
bahan-bahan bangunan industrial (beton, baja, kaca), blok-blok apartemen
raksasa, bentuk-bentuk geometris, jalan-jalan lurus, konsentrasi kegiatan dan
penduduk secara vertical
dalam rangka mendapatkan ruang-ruang hijau terbuka,
dan sebagainya.
Dalam Piagam Athena, yang di bawah
pengaruh gaya arsitektur Le Corbusier, menganggap bahwa: “kota adalah mesin
untuk hidup (city is a machine for living).” Dengan demikian, kota harus efisien
dan efektif untuk melayani manusia (Heryanto 2003). Kota dianggap sebagai
susunan fungsional, di mana hunian, pekerjaan, perbelanjaan, dan jasa terpisah
ketat, serta wilayah pinggiran kota dianggap sebagai tempat rekreasi yang makin
lama dimanfaatkan untuk perumahan tambahan (Frick & Mulyani 2006: 127).
Konsep ini menekankan pembagian suatu kota dalam beberapa kawasan berdasarkan
fungsinya sebagai suatu ruang kehidupan manusia, yaitu wisma, karya, marga,
cipta, dan rekreasi (Gambar 4). Namun, hingga saat ini, penerapan konsep Piagam
Athena menghasilkan pengrusakan lingkungan sekitar kota, serta pertumbuhan kota
menghasilkan masalah kemacetan lalulintas yang sangat parah (Frick &
Mulyani 2006: 127). Menurut Frick dan Mulyani, bahwa penerapan piagam athena
tidak hanya merusak lingkungan sekitar kota, tetapi juga mengakibatkan masalah
sosial. Di mana anggota keluarga yang bekerja, tidak lagi memiliki waktu untuk
berbagi cerita dengan anggota keluarga lainnya.
Gambar 4. Pembagian Zona Kota
Menurut Piagam Athena (Sumner: dimodifikasi dari Frick & Mulyani 2006)
Dalam proses merancang atau mendisain
kota (urban), Roger Trancik menggunakan tiga teori, yaitu: teori figure, teori
linkage dan teori place (Gambar 5). Di mana, kota sebagai suatu sistem dari
massa bangunan dan ruang-ruang terbuka (void). Bangunan-bangunan yang adalah
bagian dari ruang luar, memberikan bentuk bagi ruang terbuka
Gambar 5. Hubungan teori Merancang
Roger Tancik (Zahnd 1999)
umum. Pendekatan dari teori figure-ground
adalah: pemahaman terhadap bentuk kota yang dilihat dari hubungan antara
massa-massa bangunan dan ruang-ruang terbuka. Figure-ground, merupakan alat
analisis untuk mengidentifikasi pola-pola dan tekstur dari susunan kota, tetapi
ini hanya pada konsep ruang dua dimensi.
Menurut Zahnd (1999:84-85), bahwa
teori ini dibedakan dalam dua pandangan figuratif yang berbeda, yaitu:
a. Pertama,
mengutamakan konfigurasi massa dan blok dilihat secara figuratif bagi
kebanyakan orang dan perancang dan ini ditemukan dalam budaya tradisional dan
budaya moderen. Contoh: pada karya-karya Le Cobusier (Gambar 6 & Gambar 7) dan kawan-kawan yang menggunakan
konfigurasi figure massa khususnya dalam lingkungan perkotaan.
b. Pandangan
kedua mengutamakan konfigurasi ground (konfigurasi ruang atau void), yang
artinya konfigurasi ruang atau void dilihat sebagai suatu bentuk tersendiri.
Pandangan inipun masih terdapat pada budaya tradisional maupun budaya
teknologi. Kota-kota di Asia, Eropa dan Timur Tengah, mementingkan urban space
(ruang perkotaan) yang
Gambar
6. Contemporary City' Plan - 1922, Le Corbusier
(www.mediaarchitecture.at/architekturtheorie)
Gambar
7. Le Corbusier‟s Contemporary City Le Corbusier proposed „a Contemporary City
of Three Million Inhabitants‟(1929)
(blog.roughtheory.org/2007/04/25/utopian-cities)
figuratif meskipun dengan cara yang
berbeda. Konfigurasi ruang (spasial) memunculkan sebuah kawasan kota sebagai
sebuah nukleus (inti) kota dan akibatnya sering menghadapi ketidakaturan
ekstrim dalam lingkungannya. Contoh: di Kota Jakarta, kawasan bangunan yang
muncul akibat adanya mengutamakan konfigurasi ruang-ruang (Gambar 8).
Gambar 8. Kawasan bangunan-bangunan di
Jakarta sebagai nukleus (inti)
2.4 Paradigma Kota Berkelanjutan
Perkotaan atau kota sangat memiliki
berbagai arti, definisi dan kriteria, tergantung dari ahli apa yang
memandangnya. Menurut Zahnd (1999:3), apabila seorang berprofesi bidang
geografi, akan menekankan pada permukaan kota dan bentuk serta fungsi kota.
Jika seorang ekonom, maka akan lebih mementingkan perdagangan kota yang
berhubungan dengan kegiatan dan potensi kota secara finansial. Lain lagi dengan
antropolog, memandang kota lebih kepada lingkup sejarah dan budaya. Seorang
politikus akan menekankan, bagaimana mengurus kota dan hubungannya dengan pihak
pemerintah dan swasta. Sedangkan seorang sosiolog akan berfokus pada
klasifikasi pemukiman kota dari semua aspek tabiatnya. Seorang ahli kesehatan
masyakat akan memperhatikan kota dari kondisi lingkungan kesehatan pemukiman
kota. Para ahli hukum akan fokus perhatiannya pada hubungan peraturan dan
keputusan dengan perencanaan kota serta pelaksanaannya. Seorang ahli konstruksi
(insinyur) akan memfokuskan pada sistem prasarana kota dan pembangunannya serta
struktur anatomi kota dan perencanaannya. Akhirnya bagi para arsitek, mereka
memiliki beberapa sudut pandang yang sama dengan para insinyur, namun dia akan
lebih menekankan aspek-aspek kota secara fisik dengan memperhatikan hubungan
antara ruang dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya, dan bagaimana semua
itu dapat tercapai.
Satu dasar pemikiran yang dikemukakan
Haugton (1999) dalam Satterhwaite (2001), bahwa keberlanjutan suatu kota tidak
bisa tercapai secara murni tanpa syarat-syarat di dalamnya, seperti: suatu kota
berlanjut adalah pada hakekatnya yang membantu secara efektif menghasilkan
tujuan global pembangunan berkelanjutan, di mana pembangunan berkelanjutan
dilihat sebagai sebagai hasil akhir suatu proses. Beberapa tujuan pembangunan
berkelanjutan menurut konsep Brundlant dalam “Our Common Future”, yaitu: "Sustainable development is development
that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs": yang dapat di aplikasikan pada
pembangunan kota oleh Satterthwaite (1997) dalam Satterhwaite (2001), sebagai
berikut:
a. Bahwa tujuan
pembangunan berkelanjutan pertama:
“Pemenuhan
kebutuhan saat ini”, dapat diaplikasikan pada pembangunan kota, dengan
cara:
1)
Pemenuhan ekonomi,
termasuk akses mata pencaharian yang memadai atau aset produktif; juga keamanan
ekonomi ketika tidak memiliki pekerjaan tetap, sakit, cacat atau apa saja untuk
suatu keamanan mata pencaharian.
2)
Pemenuhan akan sosial,
budaya, lingkungan dan kesehatan, termasuk suatu perlindungan bagi kesehatan,
keselamatan, kemampuan dan keamanan, di dalam suatu kelompok masyarakat dengan
persediaan pipa saluran air, sanitasi, drainase, tranportasi, perlindungan
kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak. Juga sebuah rumah, tempat bekerja
dan tempat tinggal yang terlindung dari bahaya lingkungan, termasuk pencemaran
bahan-bahan kimia.
3)
Pemenuhan politik,
termasuk kebebasan berpartisipasi pada politik tingkat nasional dan lokal.
b.
Tujuan pembangunan berkelanjutan kedua: “….tanpa mengurangi kemampuan generasi akan datang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya”, dapat diaplikasikan dalam pembangunan kota dalam bentuk:
1)
Meminimalkan penggunaan
atau limbah dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, termasuk meminimalkan
konsumsi bahan bakar fosil pada kegiatan perumahan, komersil, industri dan
transportasi ditambah dengan substitusi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
apabila memungkinkan. Juga meminimalkan limbah dari sumberdaya alam mineral
yang langkah. Melestarikan aset-aset budaya, sejarah dan alam di dalam kota
yang rentan dimusnahkan, dimana aset-aset ini menyediakan ruang-ruang bermain,
rekreasi dan akses ke alam.
2)
Pemanfaatan yang
berkelanjutan bagi keterbatasan sumberdaya alam terbaharukan. Contoh: kota-kota
menarik sumber alam air pada tingkatan yang dapat berlanjut (dengan
mengedepankan cara daur-ulang dan pemanfaatan kembali).
3)
Limbah organik tidak
lebih dari batasan kemampuan sumber alam sungai atau danau memperbaharui
kembali (contoh: kapasitas sungai menggurai limbah organik tanpa degradasi
ekologi).
4)
Limbah anorganik atau
emisi tidak lebih dari batasan kemampuan daya serap area pembuangan lokal dan
global atau menipiskan tanpa memberikan dampak yang merugikan (contoh:
dayatahan pestisida; gas-gas rumah
kaca dan penipisan ozon).
Secara luas, bahwa pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan dalam suatu kombinasi integritas antara
sistem manusia dan sistem alam sebagai interaksi mereka dan kondisi satu dengan
yang lain dari waktu ke waktu. Keberlanjutan sistem sosial ekologi adalah suatu
proses dinamika dari pembangunan, tidak suatu kondisi yang statis. Suatu
keberlanjutan sistem adalah ketahahan sistem terhadap gangguan dan mudah
beradaptasi (Raskin et al 1996).
Menurut Raskin et al (1996) bahwa
pembangunan berkelanjutan sebagai suatu kualitas dari pasangan sistem manusia
dan sistem lingkungan yang keduanya memiliki dimensi biofisik dan sosial
ekonomi. Di mana keberlanjutan biofisik mencari dan memelihara sistem alam,
siklus bio-geokimia, dan
sumber daya alam
untuk pembangunan manusia.
Pembangunan berkelanjutan tidak
semata-mata terpusat pada pikiran pada persoalan-persoalan lingkungan. Lebih luas, pembangunan
berkelanjutan meliputi tiga bidang:
ekonomi, lingkungan dan sosial. Untuk mendukung ini, beberapa teks Perserikatan
Bangsa-Bangsa, pada World Summit 2005 merujuk pada "tiang-tiang ini saling ketergantungan dan saling memperkuat” dari
keberlanjutan pembangunan sebagai pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
perlindungan lingkungan.
Menurut catatan World Conservation
Union, UN Environment Programme and World Wide Fund for Nature, yang dikutip
dalam
Giddings & O‟Brien (2002), bahwa
pembangunan berkelanjutan tidak hanya suatu bentuk pembangunan yang memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa membahayakan generasi mendatang tetapi juga, “meningkatkan mutu dari kehidupan selama
dalam daya-dukung yang mendukung sistem alam (ekosistem)”.
Menurut Giddings & O‟Brien
(2002), hal ini merupakan suatu strategi pembangunan dalam kaitan menjaga
keseimbangan sosial, kebutuhan lingkungan dan ekonomi oleh semua orang untuk
memastikan suatu mutu hidup (quality of life) yang lebih baik. Menurut Giddings
& O‟Brien (2002), strategi ini memiliki empat sasaran dalam mencapai format
keberlanjutan pembangunan, yaitu: (i) kemajuan sosial yang diperlukan oleh semua
orang; (ii) perlindungan yang efektif terhadap lingkungan; (iii) penggunaan
sumber alam yang bijaksana; (iv) pemeliharaan kestabilan dan tingginya tingkat
pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan.
Menurut Ravetz (2000) bahwa
pembangunan berkelanjutan pada akhirnya adalah “keseluruhan baik dari pada
hasil dari bagian per bagian”, masalah dan solusi dalam pembagunan
berkelanjutan saling berkaitan satu dengan yang lain, antara sektor-sektor,
aktivitas-aktivitas, agen-agen dan individual, meski fungsi mereka saling
tumpang tindih, berkompetisi dan terpisah-pisah dan untuk agenda pembangunan
berkelanjutan diperlukan sesuatu untuk mengintegrasikannya.
Pembangunan berkelanjutan perlu
menjadi dasar terhadap prinsip-prinsip dimana akan dilaksanakan semua isu-isu
yang diklasifikasikan sebagai lingkungan, sosial, ekonomi atau campuran antara
ketiganya. Menurut Haughton (1999) ada lima prinsip dalam pembangunan
berkelanjutan, yaitu: (i) futurity–inter-generational
equity; (ii) social
justice–intra-generational equity; (iii) transfrontier responsibility– geographical equity; (iv) procedural equity–people treated openly
and fairly and (v) inter-species
equity importance of biodiversity.
Pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan harus diupayakan secara sadar, dan ini tercantum dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
Bab I Pasal 1(3) bahwa: “Pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Seperti juga ekosistem alami,
ekosistem perkotaan terdiri atas sistem individu dan sistem berlapis dari tiga
bidang, yaitu: (a) lingkungan alami, (b) lingkungan terbangun, (c) lingkungan
sosio-ekonomi. Masing-masing sistem saling berinteraksi dan saling
ketergantungan satu dengan yang lain. Agar ekosistem perkotaan berlanjut, maka
diperlukan dinamika dan integrasi yang berimbang. Kota yang berkelanjutan
sangat memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan
(Leitmann 1999). Tidak sehatnya ekosistem perkotaan dapat menyebabkan degradasi
lingkungan lokal dan luas, masalah-masalah sosial, kemunduran ekonomi, masalah
kesehatan manusia dan lebih lanjut putusnya hubungan dari sistem alam.
Menurut Haughton & Hunter (1994),
kota berkelanjutan adalah wilayah yang memiliki masyarakat yang secara
terus-menerus berusaha keras untuk memperbaiki alam mereka, membangun
lingkungan dan kebudayaan dengan menyisipkan cara-cara yang selalu mendukung
tujuan pembangunan berkelanjutan secara global di tingkatan kelompok
keluarga-keluarga sampai dengan tingkatan wilayah.
Adapun ciri-ciri pembangunan kota
berkelanjutan, menurut Leitmann (1999) sebagai berikut: (1) kota-kota yang
memiliki jejak ekologi perkapita yang relatif rendah; (2) kota-kota yang tidak
mengalami kemunduran kekayaan pe kapita; dan (3) kota-kota yang mengurangi
resiko-resiko kesehatan, meminimalkan pencemaran, dan memaksimalkan pemanfaatan
sumber daya terbaharui.
Menurut Girardet dalam Satterwaite
(2001), ekosistem perkotaan terdiri atas sistem pengelolaan kota itu sendiri
dan sistem berlapis dari tiga bidang, yaitu: (a) sistem lingkungan alami, (b)
sistem lingkungan terbangun, (c) sistem lingkungan sosio ekonomi. Di mana,
menurut Girardet, masing-masing sistem memerlukan dinamika dan integrasi yang
berimbang, saling ketergantungan antara satu sistem dengan sistem yang lain
dalam suatu ekosistem perkotaan sebagai suatu keseluruhan.
Girardet mengemukakan bahwa, tak
sehatnya ekosistem perkotaan dapat menyebabkan degradasi lingkungan lokal dan
luas, masalah-masalah sosial, kemunduran ekonomi, masalah kesehatan manusia dan
lebih lanjut putusnya hubungan dari alam (Satterwaite 2001).
Menurut Leitmann (1999), kota-kota
yang berkelanjutan sangat memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan
secara keseluruhan. Ciri-ciri pembangunan kota berkelanjutan, adalah:
(1)
kota-kota dengan relatif
rendah atau berkurang jejak ekologi per kapita;
(2)
kota-kota yang tidak
mengalami kemunduran kekayaan pe kapita; dan
(3)
kota-kota yang mengurangi
resiko-resiko kesehatan, meminimalkan pencemaran, dan memaksimalkan pemanfaatan
sumber daya terbaharui.
Haughton dan Hunter (1994) cenderung
melihat keberlanjutan kota dari sudut manusia dan aktifitas perdagangan,
sehingga menurut mereka kota yang berkelanjutan adalah kota di mana orang-orang
dan perusahaannya secara terus-menerus berusaha keras untuk memperbaiki alam
mereka, membangun lingkungan dan kebudayaan di tingkat lingkungan dan wilayah,
sementara itu menyisipkan tatacara yang selalu mendukung tujuan pembangunan
berkelanjutan secara global.
Pada hakekatnya konsep keberlanjutan
kota adalah kemampuan area perkotaan dan daerahnya untuk terus berfungsi pada
tingkatan kualitas hidup yang diinginkan oleh masyarakatnya, dengan tidak
membatasi pilihan yang ada sekarang sampai generasi masa depan dan tidak
menyebabkan dampak yang berlawanan di dalam dan di luar batas perkotaan.
“As
defined at The Sustainable City Conference in Rio (2000): "The concept of
sustainability as applied to a city is the ability of the urban area and its
region to continue to function at levels of quality of life desired by the
community, without restricting the options available to the present and future
generations and without causing adverse impacts inside and outside the urban
boundary".
Kota yang sedang dalam suatu proses
berkelanjutan, apabila bertambah baik kualitas hidup di kota, termasuk bagian
ekologi, kebudayaan, politik, kelembagaan, sosial dan ekonomi dengan tidak
meninggalkan beban atas generasi yang akan datang (Budihardjo 1999). Kota-kota
yang berkelanjutan sangat memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan
secara keseluruhan (Leitmann 1999).
Menurut Budihardjo (1999), kota akan
berlanjut apabila penduduk mempunyai prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat
menuntun mereka dan menerapkannya ke penanganan dari masalah yang mereka hadapi
dan aktualisasi dari potensi yang mereka miliki, demi perkembangan dari kota
dan daerah mereka.
BAB III
Dampak Supermarket terhadap Keberadaan Pasar
Tradisional di Daerah Perkotaan di
Indonesia
3.1 Pendahuluan
Pertumbuhan pasar modern di
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dalam beberapa tahun
terakhir cukup tinggi. Pada kurun waktu 1999-2004, terjadi peningkatan pangsa
pasar supermarket1 terhadap total pangsa pasar industri makanan yang cukup
tajam dari 11 persen menjadi 30 persen. Penjualan supermarket pun tumbuh
rata-rata 15 persen per tahun, sedangkan penjualan pedagang tradisional turun 2
persen per tahunnya (Natawidjadja, 2006).
Salah satu penyebab meningkatnya
jumlah dan penjualan pasar modern adalah proses urbanisasi yang mendorong
percepatan pertumbuhan penduduk di perkotaan serta meningkatnya pendapatan per
kapita masyarakat perkotaan. Dari 1998 hingga 2003, hipermarket di seluruh
Indonesia tumbuh 27 persen per tahun, dari delapan menjadi 49 gerai. Meskipun
demikian, pertumbuhan hipermarket terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek dengan
proporsi 58 persen dari keseluruhan hipermarket. Pedagang tradisional yang
terkena imbas langsung dari supermarket (atau hipermarket) adalah pedagang yang
menjual produk yang sama dengan yang dijual di kedua tempat tersebut. Meskipun
demikian, pedagang menjual makanan segar (daging, ayam, ikan, sayur-sayuran,
buah-buahan, dan lain-lain) masih bias bersaing dengan supermarket dan
hipermarket mengingat banyak pembeli masih memilih untuk pergi ke pasar
tradisional untuk membeli produk tersebut. Keunggulan pasar modern atas pasar
tradisional adalah bahwa mereka menjual produk yang relatif sama dengan harga
yang lebih murah, ditambah dengan kenyamanan berbelanja dan beragam pilihan
cara pembayaran. Supermarket juga menjalin kerjasama dengan pemasok besar dan
biasanya untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan mereka dapat
melakukan efisiensi dengan memanfaatkan skala ekonomi yang besar.
Beberapa kalangan memandang bahwa
makin meluasnya pendirian pasar modern di Indonesia, makin baik bagi
pertumbuhan ekonomi serta iklim persaingan usaha. Sementara itu, kalangan lain
berpendapat bahwa di era globalisasi pasar tradisional telah menjadi korban
dari kompetitisi sengit antara sesama pasar modern, baik lokal maupun asing.
Pasar tradisional kehilangan pelanggan akibat praktik usaha yang dilakukan oleh
supermarket.
3.2 Analisis
Deskriptif: Kondisi Bisnis Para Pedagang Pasar Tradisional.
Beberapa penelitian mengenai dampak
supermarket yang pernah dilakukan di negara berkembang, di antaranya oleh
Reardon and Berdequé (2002), Reardon et al (2003), Trail (2006), dan Reardon
dan Hopkins (2006), menemukan adanya dampak negatif menjamurnya supermarket
terhadap para pedagang di pasar tradisional. Pedagang yang terlebih dahulu
bangkrut biasanya adalah pedagang yang menjual aneka barang, makanan olahan,
dan produk-produk olahan susu, diikuti oleh toko-toko yang menjual bahan
makanan segar dan pasar tradisional. Mereka hanya dapat bertahan selama
beberapa tahun. Setelah itu, tinggal pedagang yang berdagang produk-produk
spesifik atau mereka yang berdagang di daerah yang dilindungi dari keberadaan
supermarket saja yang dapat tetap bertahan. Berdasarkan analisis deskriptif,
mayoritas komoditas yang dijual di pasar tradisional adalah sayur-sayuran
segar. Sebanyak 22,4 persen pedagang menjual sayur-sayuran segar sebagai
komoditas dagangan utama mereka. Artinya, ada persaingan antarpedagang
sayur-sayuran segar yang cukup ketat sehingga harga komoditas sayur-sayuran
segar berkualitas baik di pasar tradisional menjadi lebih kompetitif daripada
komoditas lainnya. Berbeda halnya dengan keadaan di pasar kontrol, untuk di
pasar perlakuan kurang lebih 42 persen pedagang mengidentifikasi supermarket
sebagai pesaing utamanya. Akan tetapi, apabila digabungkan proporsi pesaing di
dalam dan sekitar pasar tradisional masih lebih tinggi daripada proporsi
supermarket. Lebih dari 40 persen pedagang menggunakan pemasok profesional,
lainnya 31 persen memanfaatkan pasar grosir tradisional, dan kurang lebih 6
persen melakukan kontak langsung dengan produsen. Salah satu kelemahan daripada
para pedagang yang membuat mereka sangat rentan terhadap keberlangsungan
usahanya adalah metode pembayaran tunai untuk barang-barang dagangannya. Hal
ini berbeda dengan pratik pengadaan barang yang lazim di supermarket.
3.3 Jawaban:
Seiring dengan meningkatnya
persaingan di bisnis ritel, ada beberapa hal yang harus menjadi landasan bagi
pembuat kebijakan untuk menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional. Pertama,
memperbaiki sarana dan prasarana pasar tradisional. Masalah keterbatasan dana
seyogianya dapat diatasi dengan melakukan kerja sama dengan pihak swasta
seperti pasar tradisional di Bumi Serpong Damai. Konsep bangunan pasar pun
ketika renovai harus diperhatikan sehingga permasalahan seperti konsep bangunan
yang tidak sesuai dengan keinginan penjual dan pembeli dan kurangnya sirkulasi
udara tidak terluang kembali. Kedua, melakukan pembenahan total pada manajemen
pasar. Sepatutnya, kepala pasar yang ditunjuk memiliki kemampuan dan kepandaian
manajerial. Ketiga, mencari solusi jangka panjang mengenai PKL yan salah
satunya adalah menyediakan tempat bagi PKL di dalam lingkungan pasar.
Pedagang tradisional selama ini
selalu dihadapkan pada masalah permodalan dan jaminan/asuransi atas barang
dagangannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya Pemda dan lembaga keuangan setempat
memerhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi
utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan
menggunakan dana pribadinya. Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha.
Mereka menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya
barang dagangan dan fluktuasi harga.
Untuk menghindari tenggelamnya pasar
tradisional akibat kehadiran pasar modern, diperlukan pendekatan yang terpadu
bagi ketiga permasalahan di atas, yakni adanya regulasi untuk melindungi pasar
tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur, penguatan manajemen dan modal
pedagang di pasar tradisional. kebijakan untuk Menangani ketegangan-ketegangan
yang muncul di antara Supermarket, Pemasok, dan Pedagang Ritel Tradisional.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kawasan-kawasan tertentu di wilayah kota
besar-kota besar mesti senantiasa dipelihara dan dikembangkan guna mendukung peningkatan
kegiatan ekonomi kota. Kawasan CBD (Center
Bussines District) yang berada di pusat-pusat kota pada dasarnya merupakan
kawasan strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Karena itu skenario
perencanaan dan perancangan kawasan, baik yang berupa: revitalisasi kawasan
(lama), pembentukan sub-kota baru dalam
kota (lama), serta kegiatan peremejaan kawasan (the urban renewal) –sudah
sepantasnya didukung oleh pendirian bangunan-bangunan kegiatan bisnis. Bentuk-bentuk
kegiatan bisnis kawasan perkotaan yang
sangat intensif dan mempunyai nilai tambah tinggi yang diberi kesempatan
beraktifitas didalamnya.Karena itu dalam upaya mendukung pembangunan ekonomi
nasional melalui MP3EI, selain strategi
pembangunan yang dilaksanakan melalui pembangunan 8 koridor utama, pada
kawasan perkotaan mesti pula memperhatikan pula strategi pembentukan cluster
pertumbuhan ekonomi kawasan. Melihat kepada perkiraan para pakar perkotaan dunia seperti diatas, maka
pembangunan kawasan perkotaan menjadi lebih penting dan lebih strategis untuk
masa-masa mendatang.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka adapun
saran bagi pemerintah agar dapat menerapkan sistem seperti di negara-negara
maju lainnya dengan jalan menanggulangi kemiskinan serta meningkatkan kualitas
lingkungan hidup serta keamanan dan ketertiban guna menciptakan kesejahteraan
bagi masyarakat khususnya di Indonesia sehingga dapat dirasakan bukan hanya
untuk di masa sekarang melainkan juga untuk generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Internet:
www.academia.edu/8028254/PEMBANGUNAN_PERKOTAAN_-_EKONOMI_PERKOTAAN_and_CLUSTER_EKONOMI
[12 Maret 2016].
www.amankeun.blogspot.com/2013/12/makalah-pembangunan.html
[9 Maret 2016].
www.amadhy.blogspot.com/2012/11/makalah-masalah-pembangunan.html [9 Maret 2016].
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31196/4/Chapter%20II.pdf
[9 Maret 2016].
www.repo.unsrat.ac.id/144/11/10_-_BAB_1.pdf
[9 Maret 2016].
Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT
BalasHapusWell over 160k women and men are utilizing a easy and secret "liquid hack" to lose 1-2 lbs every night in their sleep.
It's very easy and it works on anybody.
You can do it yourself by following these easy steps:
1) Go grab a drinking glass and fill it up with water half full
2) Then learn this awesome HACK
and you'll become 1-2 lbs thinner the very next day!